BAB II
LANDASAN TEORI
A. PERAN
PERAWAT
1. Pengertian
Keperawatan
adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsikososial dan spiritual yang
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit
maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Hidayat, 2004).
Perawat adalah profesi yang difokuskan
pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat sehingga mereka dapat
mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas
hidup dari lahir sampai mati (Bagolz, 2010).
Menurut Barbara (1995) peran adalah
seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang
sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial
baik dari dalam maupun dari luar dan Universitas Universitas Sumatera Sumatera Utara Utarabersifat stabil.
Peran adalah bentuk dari perilaku yang
diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu (Lailia, 2009).
Peran perawat adalah merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai dengan kependudukan dalam system, dimana dapat dipengaruhi
oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan
yang bersifat konstan (Hidayat, 2007).
Peran perawat menurut konsorsium ilmu
ilmu kesehatan tahun 1989 dalam Hidayat
(2007) terdiri dari:
a. Peran
sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Peran
sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan
memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian
pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat
ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat direncanakan dan dilaksanakan
tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian
dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini
dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.
6
|
b.
Peran sebagai advokat.
Peran
ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian pelayanan atau informasi
lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang
diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi
hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas
informasi tentang penyakitnya. Hak atas Universitas Universitas Sumatera Sumatera Utara Utaraprivasi, hak untuk
menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
c. Peran
edukator.
Peran
ini dilakukan dengan membantu klien dalam
meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan
tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien sesudah
dilakukan pendidikan kesehatan.
d.
Peran coordinator
Peran
ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta
sesuai dengan kebutuhan klien.
e.
Peran kolaborator
Peran
perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau
tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
f.
Peran konsultan
Peran
disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan
klien terhadap informais tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
B. ELECTRO
CONVULSIVE TERAPY (ECT)
1. Pengertian
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah
tindakan dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada
penderita baik tonik maupun klonik (Sujono, 2009). Sedangkan menurut Tomb
(2004) Electro Convulsive Therapy adalah
sah meskipun keburukan ECT tidak dapat dibenarkan. Walaupun mekanisme terapi
lain atau pada keadaan yang tidak diobati: 0,01
– 0,03% dari pasien yang
diterapi, terbanyak akibat serangan jantung.
Terapi elektrokonvulsif menginduksi
kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis (Stuart, 2007).
Menurut Townsend (1998) Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu
jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk menimbulkan
kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai.
Terapi Kejang Listrik adalah suatu
terapi dalam ilmu psikiatri yang dilakukan dengan cara mengalirkan listrik
melalui suatu elekktroda yang ditempelkan di kepala penerita sehingga
menimbulkan serangan kejang umum (Mursalin, 2009).
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan
suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang
grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai (Taufik,
2010).
Terapi kejang listrik merupakan alat
elektrokonvulsi yang mengeluarkan listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu
fase dari aliran sinusoid itu sehingga pasien menerima aliran listrik (Maramis,
2004).
Tujuan
terapi ECT Untuk menyebabkan kejang
klonik terapeutik yang kejang klonik terapeutik yang berlangsung selama minimal
15 detik. Berlangsung selama minimal 15detik.
2. Indikasi
Terapi ECT
a. Pasien
dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap antidepresan atau
yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2007). Menurut Tomb (2004) gangguan afek
yang berat: pasien dengan gangguan bipolar, atau depresi menunjukkan respons
yang baik dengan ECT. Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas cukup berespon.
ECT lebih efektif dari antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala
psikotik. Mania juga memberikan respon yang baik pada ECT, terutama jika litium
karbonat gagal untuk mengontrol fase akut.
b. Gangguan afek yang berat
: pasien dengan penyakit depresi berat atau penyakit mental lainnya dan
gangguan bipolar (mania) yang tidak berespon terhadap obat anti depresan atau
pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat karena cukup beresiko (terutama
pada orang tua yang memiliki kondisi medis).
c. ECT adalah salah satu
cara tercepat untuk mengurangi gejala pada orang yang menderita mania atau
depresi berat. ECT umumnya digunakan sebagai langkah terakhir ketika penyakit
tidak merespon obat atau psikoterapi. Pasien dengan depresi menunjukkan respons
yang baik dengan ECT 80-90% dibandingkan dengan antidepresan 70% atau lebih).
Terapi ECT biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih ringan,
yaitu gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan perasaan alam
depresi.
d. Pasien
dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima pengobatan untuk mencapai
efek terapeutik (Stuart, 2007). Menurut Tomb (2004), pasien bunuh diri yang
aktif dan tidak mungkin menunggu antidepresan bekerja.
e. Ketika
efek samping Electro Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang dari efek
samping yang berhubungan dengan blok jantung, dan selama kehamilan (Stuart,
2007).
f. Gangguan
skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan
respons yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlebih dahulu, tetapi jika
kondisinya mengancam kehidupan (delyrium hyperexcited), segera lakukan ECT.
Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoaktif) yang tidak berespons pada
medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian
besar skizofrenia (kronis), ECT tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).
3. Kontraindikasi
ECT kurang efektif untuk mania dan
kurang unggul dibandingkan terapi obat dalam skizofrenia, kecuali bila gejala
depresi menonjol.
Pertimbangkan
resiko prosedur dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi.
Penyakit neurologik bukan suatu kontraindikasi.
a. Resiko
sangat tinggi:
1) Peningkatan
tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem saraf pusat), ECT
dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium.
2) Infark
miokard: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal jika terdapat kerusakan
otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
b. Resiko
sedang:
1) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru,
siapkan selama terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
2) Penyakit
kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma, aritmia), berikan
premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya ada disana.
3) Infeksi
berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptik
akut, feokromasitoma (Tomb, 2004).
4. Jenis-Jenis ECT
Jenis ECT ada dua macam: ECT Konvensional dan ECT Pre-medikasi
a. ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya
kejang pada pasien sehingga tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini
di lakukan tanpa menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional, karena pada
terapi ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya kejang
yang terjadi pada pasien.
5. Keuntungan dan Kerugian ECT
a. Keuntungannya
ECT menghasilkan respon yang lebih
cepat dibandingkan dengan antidepresi, tetapi banyak keuntungan ini hilang
dalam satu atau dua bulan. ECT tetap menjadi terapi terbaik bagi pasien yang
mencoba bunuh diri karena depresi berat dengan gejala psikotik.
Efektifitas ECT
dalam mengobati pasien dengan gangguan jiwa karena adanya peningkatan
sensitivitas reseptor terhadap neurotransmitter. ECT meningkatkan pergantian
dopamin, serotonin dan meningkatkan pelepasan norepineprin dari neuron-neuron
ke reseptor. ECT juga akan menstimulasi pelepasan serotonin.
Pada
depresi terjadi gangguan neurotrasmitter otak yaitu penurunan dopamin,
serotonin dan norepineprin. Dengan ECT penurunan tersebut dapat ditingkatkan,
sehingga pasien depresi dapat disembuhkan dengan pemberian ECT. ECT adalah
terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi semacam ini sering
digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar
dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada penderita dengan
risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan risiko
bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek.
b.
Kerugian:
Tidak
ada kejelasan mengapa ECT bisa menghasilkan sikap yang negatif. Salah
satu faktor mungkin karena sikap fanatik kita, yaitu sikap jijik untuk
melakukan tindakan biologis tertentu. Kejang –kejang, seperti muntah adalah bukan
sesuatu suka kita tonton. Mungkin ada faktor evaluasi. Kejang-kejang dan
muntah, dapat mengindikasikan sebagai penyakit yang mungkin dapat
menular. Masyarakat secara genetis diprogramkan untuk takut dan
menghindari situasi seperti itu. Kita menghindari berdiskusi topik
kejang-kejang karena beberapa orang yang menderita epilepsy kurang setuju
dengan terapi ECT.
ECT sebagai alat terapi orang yang
mengalami gangguan jiwa karena banyak efek samping yang ditimbulkan seperti
yang Patah tulang vertebra, Kehilangan memori dan kekacaun mental sememtara,
Dislokalisasi sendi rahang, Amnesia, Nyeri kepala, bahkan samapi kematian.
Risiko yang ditimbulkan juga cukup berbahaya seperti kerusakan otak, kematian
dan kehilangan memori permanen. Dari segi etik juga tidak etis memperlakukan
manusia seperti hewan percobaan walaupun dibilang cukup efektif untuk terapi
gangguan kejiwaan tapi sangat kurang etis, apalagi untuk budaya kita.
C. PERSIAPAN
ALAT
1. Perlengkapan
dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel elektroda, bantalan kasa, alkohol,
saling,elektroda elektroensefalogram (EEG), dan kertas grafik.
2. Peralatan
untuk memantau, termasuk elektrokardiogram (EKG) dan elektroda EKG.
3. Manset
tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter denyut nadi.
4. Stetoskop.
5. Palu
reflex.
6. Peralatan
intravena.
7. Penahan
gigitan dengan wadah individu.
8. Pelbet
dengan kasur yang keras dan bersisi pengaman serta dapat meninggikan bagian
kepala dan kaki.
9. Peralatan
penghisap lender.
10. Peralatan
ventilasi, termasuk slang, masker, ambu
bag, peralatan jalan nafas oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian
oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif. Obat untuk keadaan
darurat dan obat lain sesuai rekomendasi staf anastesi (Stuart, 2007).
D. PERSIAPAN
PASIEN
1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan
beritahu prosedur tindakan yang akan dilakukan.
2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium
untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT
3. Siapkan surat persetujuan
4. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau
penjepit rambut yang mungkin dipakai klien
6. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih
dan defekasi
7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg
diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT
8. Jika klien menggunakan obat antidepresan,
antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan harus dihentikan sehari
sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena berisiko
organik.
9. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin)
0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan
aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal.
E. PROSEDUR
PELAKSANAAN
Menurut
pendapat Stuart (2007) berikut prosedur
pelaksanaan terapi kejang listrik:
1. Berikan
penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur.
2. Dapatkan
persetujan tindakan.
3. Pastikan
status puasa pasien setelah tengah malam.
4. Minta
pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca mata, dan alat bantu
pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan, tambahan gigi parsial dipertahankan.
5. Pakaikan
baju yang longgar dan nyaman.
6. Kosongkan
kandung kemih pasien.
7. Berikan
obat praterapi.
8. Pastikan
obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap pakai.
9. Bantu
pelaksanaan ECT.
a. Tenangkan
pasien.
b. Dokter
atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan pasien bila terjadi
apnea karena relaksan otot.
c. Berikan
obat.
d. Pasang
spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi pasien.
e. Pasang
elektroda. Kemudian berikan syok.
10. Pantau
pasien selama masa pemulihan.
Teknik ECT dapat diberikan kepada pasien rawat
jalan dan rawat inap. Pasien dan keluarganya harus diberi penjelasan lengkap
tentang terapi yang akan dijalankan dan diminta persetujuannya. Pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan dilakukan sesuai keperluan. Kerahasiaan harus terjamin
sebelum dan selama terapi serta adanya wajah orang yang dikenal akan
bermanfaaat bagi proses pemulihan.
Anastesia
seperti biasa harus diberikan hati-hati. Atropin diberikan sebelum terapi,
diikuti dengan anestesi intravena. Tiopenton memungkinkan pasien tidur lebih
lama dalam fase pemulihan dini, tetapi metoheksin kurang bersifat antikonvulsi
dan lebih jarang menyebabkan aritmia jantung. Suatu obat pelemas otot biasanya
suksametonium klorida (Scoline) sekitar 50 mg disuntikkan melalui jarum yang
sama. Oksigen diberi sebelum dan setelah konvulsi.
Biasanya
konvulsi di induksi oleh suatu mesin yang dapat diatur waktunya secara otomatis
dan dapat dipilih bentuk gelombangnya. Rangsangan yang diberikan merupakan
rangsangan minimum yang diperlukan untuk menimbulkan konvulsi generalisata:
biasanya memilki 140 volt selam 0,5 detik. Elektroda bantalan saline digunakan.
ECT bilateral dipasang di daerah fronto temporalis. Pada ECT unilateral,
elektroda dipasang di pelipis dan processus mastoideus pada sisi yang sama (non
dominan). Dominansi bahasa harus dites dengan cermat sebelum terapi dilakukan.
F. PERAN
PERAWAT DALAM PELAKSANAAN ECT
1. Peran
perawat dalam persiapan klien sebelum tindakan ECT
a. Anjurkan
pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
b. Lakukan
pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang
merupakan kontraindikasi ECT.
c. Siapkan
surat persetujuan tindakan.
d. Klien
dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
e. Lepas
gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang mungkin dipakai
klien.
f. Klien
diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
g. Klien
jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg
diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT.
h. Jika
klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik, dan
antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan
beberapa hari sebelumnya karena beresiko organik.
i.
Premedikasi dengan
injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT. Pemberian
antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi
gastrointestinal (Riyadi, 2009).
G. PERAN
PERAWAT SAAT PELAKSANAAN ECT
1.
Secara Konvensional
Pasien diberi penjelasan dan dukungan mental
untuk siap menghadapi tindakan yang akandilakukan, perhiasan-perhiasan yang
melekat ditubuh dilepaskan, pakaian dilonggarkan dan pasien disuruh
berbaring ditempat tidur yang telah disediakan. Melakukan fiksasi pada anggota
gerak psien. Bersihkan bagian kepala yang ditempelkan elektroda. Diantara
rahang atas dan rahang bawah ditempat gigi yang masih kuat diberi bahan
lunak (sepotong kain yang dilipat-lipat) yang disuruh gigit oleh pasien.
Perhatikan bahwa bibir atau pipi tidak terjepit. Dagu pasien ditahan
supaya mulut tidak terbuka besar pada waktu pase tonik dan klonik.
Ikuti semua gerakan-gerakan yang terjadi pada pasien pada saat kejang tonik-klonik berlangsung.
2.
Secara Pre-Medikasi
Pasien diberi
pre-medikasi anastesi injeksi atrofin 1-2 cc kurang lebih sampai 1 jam sebelum melakukan
anastesi. Pasang INT (semacam wing nedle) dan tensimeter/Pasang elektroda untuk
EKG, EEG,ECT. Monitor dicoba dulu (self test) bila elektroda pemasangannya
sudah benar, akan terlihat dilayar monitor berhasil (self test passed) bila
gagal (failed) letak elektroda harus diperbaiki sampai berhasil. Masukkan obat
anastesi 1-2 cc durmikum atau phentotal 4-6 cc (disesuaikan dengan
berat badan) melalui INT, aspirasi dulu untuk mengetahui INT buntu atau
tidak. Apabila pakai phetanol, cara memasukkan harus pelan-pelan, setiap masuk
1cc aspirasi dulu benar masuk vena atau tidak kemudian baru diteruskan sampai
selesai karena kalau tidak masuk ke vena akan menyababkan nekrose jaringan. Naikkan tensimeter
diantara 180-200 (paling sedikit 10-20 diatas sistole). Ini dimaksudkan agar obat pelemas
otot succinyl choline tidak masuk kebagian distal lengan, sehingga lengan akan
tetap kontraksi sebagai kontrol kejang. Masukkan obat pelemas otot succinyl
choline 3-4 cc (disesuaikan dengan berat badan ) secara cepat. Perhatikan
fasikulasi yang terjadi, beri nafas buatan dengan respirator selama kurang
lebih 1-2 fasikulasi hilang. Pasang spatel agar lidah tidak tergigit. Pasien
dilepaskan, tidak dipegang sama sekali. Lakuakan ECT dengan monitor, biarkan
sampai kejang pada lengan berhenti, setelah kejang berhenti tensimeter
diturunkan lagi tapi tidak dilepaskan. Beri nafas buatan kembali sampai pasien dapat bernafas sendiri
secara adekuat. Ini dapat dilihat melalui gerakan otot perutnya selama kurang 4-5 menit. Tekanan
pada pompa respirator tidak boleh terlalu cepat atau lambat, frekuensi antara 12-20
kali permenit. Setelah pasien sadar, tensimeter, elektroda dan INT dapat
dilepas.
H. PERAN
PERAWAT SETELAH ECT
Berikut adalah hal-hal yang harus
dilakukan perawat untuk membantu klien dalam masa pemulihan setelah tindakan
ECT dilakukan yang telah dimodifikasi dari pendapat Stuart (2007) dan Townsen
(1998).
Menurut pendapat Stuart (2007) memantau
klien dalam masa pemulihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. Bantu
pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2. Pantau
tanda-tanda vital.
3. Setelah
pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai sadar.
Pertahankan jalan napas paten.
4. Jika
pasien berespon, orientasikan pasien.
5. Ambulasikan
pasien dengan bantuan, setelah memeriksa
adanya hipotensi postural.
6. Izinkan
pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7. Berikan
makanan ringan.
8. Libatkan
dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai
kebutuhan.
9. Tawarkan
analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.
Menurut Townsend (1998), jika terjadi
kehilangan memori dan kekacauan mental sementara yang merupakan efek samping
ECT yang paling umum hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar
supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang disertai dengan kehilangan
memori.
Implementasi
keperawatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Berikan
ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut hanya sementara.
2. Jelaskan
kepada pasien apa yang telah terjadi.
3. Reorientasikan
pasien terhadap waktu dan tempat.
4. Biarkan
pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang berhubungan dengan
pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
5. Berikan
sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-aktivitas rutin
pasien untuk meminimalkan kebingungan.
I. PROSEDUR
ECT DI RUMAH SAKIT JIWA
1. Cek
tegangan listrik
2. Cek
sambungan kabel
3. Cek
fuse
4. Cek
tombol – tombol
5. Cek
fungsi
Kerja
a. Hubungkan
alat ke sumber listrik
b. Sambungkan
kabel electrode ke alat ECT
c. Berikan
jeli pada permukaan elektrode
d. Tekan
tombol ON untuk menghidupkan alat ECT
e. Atur
density dan intensity sesuai kebutuhan
f. Tempelkan
kedua electrode pada pelipis pasien
g. Tekan
tombol pada electrode dan tahan sampai proses selesai
h. Bila
alat ECT tidak digunakan lagi matikan alat
i.
Bersikan sisa jeli yang
masih tersisa dipermukaan elekterode
BAB
III
PEMBAHASAN
Peran
perawat adalah merupakan tingkah
laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai dengan kependudukan dalam system, dimana dapat
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar
profesi keperawatan yang bersifat konstan (Hidayat, 2007).
ECT (Electro
Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik (Sujono, 2009).
Terapi
elektrokonvulsif menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis (Stuart,
2007). Electro Convulsif Therapy
(ECT) atau yang lebih dikenal dengan elektroshock adalah suatu terapi psikiatri
yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT
ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat
psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang
neurologist Italia Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada tahun 1930. Diperkirakan
hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan
intensitas antara 2-3 kali seminggu.
ECT
bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi
(therapeutic clonic seizure) selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu
kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Namun
beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum
brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak
responsif terhadap terapi farmakologis.
Menurut Stuart (2007), peran perawat dalam ECT
sesuai denga teori meliputi pre dalam pelaksanaan ECT adalah melakukan inform
concent sebelum di lakukan ECT, lalukan pemeriksaan fisik dan
laboratorium,siapkan surat persetujuan, sebelum tindakan pasien dipuasakan 4-6
jam, mengosongkan kandung kemih dan defekasi, menggunakan obat SA
(sulfatatropin) sebelum ECT.
Peran perawat
saat pelaksanaan ECT adalah memberikan penjelasan dan dukungan mental
untuk siap menghadapi tindakan yang akan dilakukan, perhiasan-perhiasan yang
melekat ditubuh dilepaskan, pakaian dilonggarkan dan pasien disuruh
berbaring ditempat tidur yang telah disediakan. Melakukan fiksasi pada anggota
gerak psien. Bersihkan bagian kepala yang ditempelkan elektroda. Diantara rahang
atas dan rahang bawah ditempat gigi yang masih kuat diberi bahan
lunak (sepotong kain yang dilipat-lipat) yang disuruh gigit oleh pasien.
Perhatikan bahwa bibir atau pipi tidak terjepit. Dagu pasien ditahan
supaya mulut tidak terbuka besar pada waktu pase tonik dan klonik.Ikuti semua gerakan-gerakan
yang terjadi pada pasien pada saat kejang tonik-klonik berlangsung.
Peran perawat setelah ECT adalah membantu
pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan, memantau tanda-tanda
vital, setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai
sadar, pertahankan jalan napas paten,
Jika pasien berespon, orientasikan pasien, ambulasikan pasien dengan bantuan,
setelah memeriksa adanya hipotensi
postural, izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya, berikan makanan
ringan, libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien
sesuai kebutuhan, tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.
Sedangkan peran
perawat di rumah Sakit Jiwa Bangli sebagai berikut: melakukan pengkajian pada
pasien yang akan diberikan terapi ECT, mempersiapkan pasien sebelum diberikan
terapi ECT, melakukan inform concent dengan pasien dan keluarga, melakukan
terapi ECT dengan kolaborasi dengan dokter. Dari penjabaran diatas Peran perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Bali dimana peran dalam pemberian terapi ECT sudah sesuai dengan teori yang
ada. Terapi ECT yang digunakan di RSJ Provinsi Bali adalah jenis konvensional
karena biaya yng lebih murah dan dapat memberi efek kejang. Sedangkan
premedikasi memerlukan biaya mahal
dimana obat-obat yang digunakan tidak di tanggung oleh pemerintah, dan
tidak menimbulkan efek kejang. Dampak yang terjadi jika terapi konvensional
dilakukan melebihi dari 20-30 x akan menyebabkan kerusakan pada sususan saraf
otonum dan kematian.
Sebelum
melakukan terapi ECT ke pasien, kita perlu juga memperhatikan prosedur
pelaksanaan ECT sesuai teori. Di mulai dari pengkajian, persiapan pasien
sebelum ECT, sampai pelaksanaan ECT tersebut. Adapun prosedur terapi ECT sesuai
teori yang diungkapkan oleh Stuart (2007) yaitu :
1. Berikan
penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur.
2. Dapatkan
persetujan tindakan.
3. Pastikan
status puasa pasien setelah tengah malam.
4. Minta
pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca mata, dan alat bantu
pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan, tambahan gigi parsial dipertahankan.
5. Pakaikan
baju yang longgar dan nyaman.
6. Kosongkan
kandung kemih pasien.
7. Berikan
obat praterapi.
8. Pastikan
obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap pakai.
9. Bantu
pelaksanaan ECT.
a. Tenangkan
pasien.
b. Dokter
atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan pasien bila terjadi
apnea karena relaksan otot.
c. Berikan
obat.
d. Pasang
spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi pasien.
e. Pasang
elektroda. Kemudian berikan syok.
10. Pantau
pasien selama masa pemulihan.
a. Bantu
pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
b. Pantau
tanda-tanda vital.
c. Setelah
pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai sadar.
Pertahankan jalan napas paten.
d. Jika
pasien berespon, orientasikan pasien.
e. Ambulasikan
pasien dengan bantuan, setelah memeriksa
adanya hipotensi postural.
f. Izinkan
pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
g. Berikan
makanan ringan.
h. Libatkan
dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai
kebutuhan.
i.
Tawarkan analgesik
untuk sakit kepala jika diperlukan.
Sedangkan Prosedur ECT di RSJ Provinsi Bali yaitu :
Persiapan :
1. Cek
Kelengkapan Alat :
a. Cek
tegangan listrik
b. Cek
sambungan kabel
c. Cek
fuse
d. Cek
tombol-tombol
e. Cek
fungsi
2. Kerja
a. Hubungkan
alat ke sumber listrik
b. Sambungkan
kabel electrode ke alat ECT
c. Berikan
jeli pada permukaan electrode
d. Tekan
tombol ON untuk menghidupkan alat ECT
e. Atur
density dan intensity sesuai kebutuhan
f. Tempelkan
kedua electrode pada pelipis pasien
g. Tekan
tombol pada electrode dan tahan sampai proses selesai
h. Bila
alat ECT tidak digunakan lagi matikan alat
i.
Bersikan sisa jeli yang
masih tersisa dipermukaan elekterode
Dari penjabaran
diatas dapat disimpulkan bahwa prosedur terapi ECT di Rumah Sakit Jiwa Propinsi
Bali sudah sesuai dengan prosedut yang ada.
Adapun Efek
Samping dari terapi ECT antaralain:
a. Kematian,
angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi antara 1-1.000 dan
1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko karena pemberian anastesi umum.
Kematian biasanya karena komplikasi kardiovaskuler.
b. Efek
sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi aritmia jantung
sementara. Aritmia ini terjadi karena bradikardia post ictal yang sementara dan
dapat dicegah dengan peningkatan dosis
premedikasi anti kolinergik. Aritmia dapat juga terjadi karena hiperaktifitas simpathetik sewaktu kejang
atau saat pasien sadar kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi toksis dan alergi
terhadap obat yang digunakan untuk prosedur ECT premedikasi, tetapi
frekwensinya sangat jarang.
c. Efek
cerebral, pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan akut confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan
setelah ECT, tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami gangguan memori
(Tomb, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar