Jumat, 21 Februari 2014

KONSEP DASAR SKIZOPRENIA



KONSEP DASAR SKIZOPRENIA
1.      Pengertian
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “Skizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Maramis, 2008).
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai di mana-mana sejak dahulu kala. Sebelum Kraepelin tidak ada kesatuan pendapat mengenai berbagai gangguan jiwa yang sekarang dinamakan skizofrenia, (Yosep, 2010).
Gangguan Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima, dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan beperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2004).
Menurut Kreapelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu dinamakannya demensia (kemunduran intelegensi) precox (muda, sebelum waktunya), (Kaplan dan Sadock, 2003).
2.      Etiologi
Menurut Kaplan & Sadock, (2003) ada beberapa teori yang menguraikan factor-faktor yang menjadi penyebab skizofrenia, yaitu :

a.    Diatesis-Stres Model
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis.
b.    Faktor Biologis
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamat dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian menggunakan CT Scan ternyata ditemukan perubahan
anatomi otak seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi koteks atau atropi otak kecil (cerebellum), terutama pada penderita kronis skizofrenia.
c.    Genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8% dan pada anak 12% apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar monozigot 47%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12%.
d.   Faktor Psikososial
Menurut Sirait, (2008) teori yang terkait dengan factor psikososial yaitu :
1)   Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan sosial pada penderita skizofrenia.
2)   Teori belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional orang tua yang mungkin memiliki masalah emosional yang bermakna. Hubungan interpersonal yang buruk dari penderita skizofrenia akan berkembang karena mempelajari model yang
buruk selama anak-anak.
3)   Teori keluarga
Tidak ada teori yang terkait dengan peran keluarga dalam menimbulkan skizofrenia. Namun beberapa penderita skizofrenia berasal dari keluarga yang disfungsional.
3.      Gambaran Klinis
a.         Menurut Hawari (2009) perjalanan penyakit skizoprenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu :
1)   Fase prodromal, pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
2)   Fase aktif, pada fase Aktif gejala positif/ psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan.
3)   Fase residual, pada fase ini  gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, pendenta skizoprenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial), (Luana, 2007).
b.    Gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler dalam Maramis (2008) , yaitu :
1)   Gejala primer.
a)       Gangguan proses berpikir.
b)       Gangguan emosi.
c)       Gangguan kemauan
d)      Autisme.
2)        Gejala sekunder.
a)        Waham
b)        Halusinasi.
c)        Gejala katatonik atau gangguan psikomotor yang lain.


4.      Jenis-jenis skizofrenia
a.       Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran (Maramis, 2008).
b.      Skizofrenia hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2008) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.
c.       Skizofrenia katatonik
Menurut Maramis (2008) skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi  stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik
1)       Stupor katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.
2)       Gaduh gelisah katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.
d.      Skizofrenia paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan, (Maramis, 2008).
e.       Episode skizofrenia akut
Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya.
Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya, (Maramis, 2008).
f.       Skizofrenia residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya  Bleuler, tetapi  tidak  jelas  adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini
timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia, (Maramis, 2008).
g.      Skizofrenia skizoafektif
Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis, 2008).
5.      Diagnosis skizofrenia
Menurut Maslim (2007) diagnosis skizofrenia ditegakkan berdasarkan pedoman diagnostik PPDGJ III yaitu :
a.    Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
1)   thought echo” yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda.
2)   thought insertion or withdrawal” yaitu isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal).
3)   thought broadcasting” yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
4)    delusion of control” yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau.
5)   delusion of passivitiy” yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus)
6)   delusional perception” yaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat;
7)   Halusinasi auditorik
(a) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
(b) Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
(c) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
8)   Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
b.    Paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
1)   Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
2)   Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
3)   Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor
4)   Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
5)   Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik (prodromal)
6)   Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Menurut Maramis, (2008) membuat diagnosa skizoprenia dengan memperhatikan gejala-gejala pada tiga buah koordinat. Koordinat pertama (organobiologik) yaitu, autisme, gangguan afek dan emosi, gangguan asosiasi (proses berfikir), ambivalensi (gangguan kemauan) serta gangguan aktifitas maupun gangguan konsentrasi. Koordinat kedua (psikologik) yaitu, gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keperibadian, dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik motivasi dan psikodinamika dalam interaksi dengan lingkungan. Koordinat ketiga (sosial) yaitu, gangguan pada kehidupan sosial penderita yang diperhatikan secara fenomenologik.
6.      Prognosis skizofrenia
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut, riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk, (Luana, 2007).
7.      Pengobatan skizofrenia
a.       Psikofarmaka
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal (Maramis, 2008).
Obat antipsikotik yang beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin fundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguan miksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg di antaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg di antaranya adalah chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau anti psikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon, (Luana, 2007).
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
1)       Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu. Onset efek sekunder (efek samping): 2-6 jam.
2)       Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2x per hari)
3)       Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
4)       Obat anti psikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk pasien yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
b.  Psikososial
Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain:
1)       Psikoterapi individual
a)    Terapi suportif
b)   Sosial skill training
c)    Terapi okupasi
d)   Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
2)       Psikoterapi kelompok
3)       Psikoterapi keluarga
4)       Manajemen kasus : Assertive Community Treatment (ACT)
8.      Prognosa.
a.       Kesembuhan total (total recovery), mungkin sembuh seterusnya dan mungkin kambuh 1 – 2 kali.
b.      Kesembuhan sosial (sosial recovery).
c.       Keadaan kronis yang stabil.
d.      Umur : makin muda umur permulaannya makin jelek prognosanya.
e.       Kepribadian prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia kurang  memuaskan maka prognosa lebih jelek.
f.       Bila skizoprenia timbul secara akut, maka prognosa lebih baik daripada bila penyakit  itu mulai secara pelan-pelan.
g.      Prognosa pada jenis katatonik yang paling baik.
h.      Pengobatan : makin cepat pengobatan makin baik prognosanya.
i.        Bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologik maka prognosa lebih baik.
j.        Faktor keturunan : prognosa  menjadi lebih berat bila di dalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizoprenia.






























DAFTAR PUSTAKA


Akbar, M., 2008, Skizofrenia : Psikosa (Sakit Jiwa). Jakarta : Balai Pustaka

Arikunto,S., 2008, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Aswin, 2010, Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung : Refika Aditama.

Andri, 2008, Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treathment Gap for Schizophrenia Badan Pengawasan Obat dan Makanan

Bahar, 2010, Kesehatan mental. Yogyakarta: Kanisius.

Dep.Dik.Bud, 2006, Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka

Depkes, 2010, Gangguan Jiwa. [Accessed 20 Nopember 2012] Http://www Litbang Depkes. go.id.

Ghana Syakira, 2009. Psikologi Klinis Fakultas Psikologi UMS. Jakarta Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Hastono, S.P., 2007, Analisis data kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (tidak dipublikasikan).

Hawari, D.,2009, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa : Skizofrenia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Hidayat, 2010, Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Isaacs, A., 2004, Panduan Belajar : Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatrik. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Iswanti I.D., 2010, Pengaruh Terapi Perilaku Modeling Partisipan Terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Klien Penatalaksanaan Regimen Terapeutik Tidak Efektif Di RSJD Dr. Amino Gondo Hutomo Semarang. Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

Kaplan dan Sadock, 2003, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri. Alih Bahasa Dr Wijadja Kusuma. Jakarta :Bina Rupa Aksara

Keliat, B.A., 2005,  Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC

Keliat, BA., 2010, Model praktek keperawatan professional jiwa. Jakarta: EGC
Luana, 2007, Kekambuhan Skizofrenia. [Diakses 20 Nopember 2012]. Dipublikasikan dalam http://www. Yayasan Harapan Permata Hati Kita. htm.

Lilly, 2008, Dukungan Keluarga, Menemukan dan Tetap Jalani Pengobatan yang Tepat Dapat membuat Perbedaan. [Diakses 20 Nopember 2012]. http://www.antara.co.id/arc/2010/911/20/

Maramis, 2008, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press

Maslim R.,2007, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.

Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan,Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Edisi 2, Jakarta : Salemba Medika

Nursalam, 2011, Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilm Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika

Niven, 2010, Psikologi Kesehatan. Jakarta : EGC

Prayitno, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan Pasien Skizofrenia di RSJ Prof Dr. Soeroyo Magelang. Skripsi Tidak dipublikasikan.

Prayitno D., 2009, SPSS Untuk Analisis Korelasi, Regresi dan Multivariate. Jogyakarta : Gava Medika

Widodo, 2009,  Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dengan Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Di RSJD Surakarta. Skripsi Tidak dipublikasikan.

Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, 2012, Laporan Tahunan Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali. Bangli.

Samsara, 2010, Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Sirait, A., 2008, Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia yang mengalami relaps di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Medan. online. Available: http://repository.usu.ac.id/20 Nopember 2012

Sudarwan,  2010, Metodelogi penelitian. Jakarta : CV Sagung Seto

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : CV Alfabeta

Sosrosumihardjo, 2010, Penanganan Penderita Skizofrenia: Tinjauan Psikologis. Makalah. Simposium Skizofrenia. Yogyakarta: RSK Puri Nirmala

Setiadi, 2007, Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suryani, L. K., 2010, Skizofrenia. online. Available: www.gatra. com/ 20 Nopember 2012

Smet, 2008, Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools And Diagnosis . Philadelphia:W.B Saunders Co

Wardani, 2009, Pengalaman Keluarga Menghadapi Ketidakpatuhan Anggota Keluarga Dengan Skizofrenia Dalam Mengikuti Regimen Terapeutik: Pengobatan. Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan.

WHO, 2010, Kesehatan Jiwa, online. Available: http://www.  mediaindonesia. com/20 Nopember 2012.

Yosep, I., 2010, Keperawatan Jiwa.  Edisi revisi. Jakarta : Refika Aditama












Tidak ada komentar:

Posting Komentar