KONSEP DASAR SKIZOPRENIA
1.
Pengertian
Skizofrenia berasal dari dua
kata, yaitu “Skizo” yang artinya
retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan
demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Maramis, 2008).
Skizofrenia merupakan suatu
bentuk psikosa yang sering dijumpai di mana-mana sejak dahulu kala. Sebelum
Kraepelin tidak ada kesatuan pendapat mengenai berbagai gangguan jiwa yang
sekarang dinamakan skizofrenia, (Yosep, 2010).
Gangguan Skizofrenia adalah
sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi area fungsi individu, termasuk
berpikir dan berkomunikasi, menerima, dan menginterprestasikan realitas,
merasakan dan menunjukkan emosi, dan beperilaku dengan sikap yang dapat
diterima secara sosial (Isaacs, 2004).
Menurut Kreapelin pada
penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu
dinamakannya demensia (kemunduran intelegensi) precox (muda,
sebelum waktunya), (Kaplan dan Sadock, 2003).
2.
Etiologi
Menurut
Kaplan & Sadock, (2003) ada beberapa teori yang menguraikan factor-faktor
yang menjadi penyebab skizofrenia, yaitu :
a.
Diatesis-Stres Model
Teori ini
menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang secara
khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya
gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh secara
dinamis.
b.
Faktor Biologis
Dari
faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian
kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian
terbaru juga menunjukkan pentingnya neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin,
glutamat dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian
menggunakan CT Scan ternyata ditemukan perubahan
anatomi otak seperti pelebaran
lateral ventrikel, atropi koteks atau atropi otak kecil (cerebellum),
terutama pada penderita kronis skizofrenia.
c.
Genetika
Faktor
genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat umum 1%, pada
orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8% dan pada anak 12% apabila salah
satu orang tua menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang
tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar
monozigot 47%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12%.
d.
Faktor Psikososial
Menurut
Sirait, (2008) teori yang terkait dengan factor psikososial yaitu :
1)
Teori perkembangan
Ahli
teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang hangat
dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan
kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas dan menarik diri
dari hubungan sosial pada penderita skizofrenia.
2)
Teori belajar
Menurut
ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang menderita
skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional orang tua yang
mungkin memiliki masalah emosional yang bermakna. Hubungan interpersonal yang
buruk dari penderita skizofrenia akan berkembang karena mempelajari model yang
buruk selama anak-anak.
3)
Teori keluarga
Tidak ada
teori yang terkait dengan peran keluarga dalam menimbulkan skizofrenia. Namun
beberapa penderita skizofrenia berasal dari keluarga yang disfungsional.
3.
Gambaran Klinis
a.
Menurut
Hawari (2009) perjalanan penyakit skizoprenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu
:
1)
Fase prodromal, pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala
non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun
sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi
pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan
diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah
keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”.
Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
2)
Fase aktif, pada fase Aktif gejala positif/ psikotik menjadi jelas
seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai
gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak
mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami
eksaserbasi atau terus bertahan.
3)
Fase residual, pada fase ini gejala-gejalanya
sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang.
Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, pendenta
skizoprenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan,
mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan
sosial), (Luana, 2007).
b. Gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler
dalam Maramis (2008) , yaitu :
1)
Gejala primer.
a)
Gangguan proses berpikir.
b)
Gangguan emosi.
c)
Gangguan kemauan
d)
Autisme.
2)
Gejala sekunder.
a)
Waham
b)
Halusinasi.
c)
Gejala katatonik atau gangguan
psikomotor yang lain.
4.
Jenis-jenis skizofrenia
a. Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks, sering
timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi
dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan.
Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan.
Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik
diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran
dan pada akhirnya menjadi pengangguran (Maramis, 2008).
b. Skizofrenia hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau
disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2008) permulaannya perlahan-lahan dan
sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses
berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor
seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan
halusinasi banyak sekali.
c. Skizofrenia katatonik
Menurut Maramis (2008)
skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali
antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional. Mungkin terjadi stupor katatonik dan gaduh gelisah
katatonik
1) Stupor katatonik
Pada stupor katatonik,
penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya dan
emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar
dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.
2) Gaduh gelisah
katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik,
terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak disertai dengan emosi yang
semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.
d. Skizofrenia paranoid
Jenis ini berbeda dari
jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering
lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala
campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia
paranoid yang jalannya agak konstan, (Maramis, 2008).
e. Episode skizofrenia akut
Gejala skizofrenia ini timbul
mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin
berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya
sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya.
Prognosisnya baik dalam waktu
beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik.
Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul
gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya, (Maramis, 2008).
f. Skizofrenia residual
Skizofrenia residual,
merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas
adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan
ini
timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia,
(Maramis, 2008).
g. Skizofrenia skizoafektif
Pada skizofrenia skizoafektif,
di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga
gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk
menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis,
2008).
5.
Diagnosis skizofrenia
Menurut Maslim (2007)
diagnosis skizofrenia ditegakkan berdasarkan pedoman diagnostik PPDGJ III yaitu
:
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut
ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu
kurang tajam atau kurang jelas):
1) “thought
echo” yaitu isi pikiran dirinya
sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi
pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda.
2) “thought
insertion or withdrawal” yaitu isi
yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal).
3) “thought
broadcasting” yaitu isi pikiranya
tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
4) “delusion of control” yaitu waham
tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau.
5) “delusion
of passivitiy” yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan
khusus)
6) “delusional
perception” yaitu pengalaman indrawi
yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya
bersifatmistik atau mukjizat;
7) Halusinasi auditorik
(a) Suara halusinasi yang berkomentar secara
terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
(b) Mendiskusikan perihal pasien pasein di
antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
(c) Jenis suara halusinasi lain yang berasal
dan salah satu bagian tubuh.
8)
Waham-waham
menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan
sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu,
atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
b. Paling sedikit dua gejala dibawah ini yang
harus selalu ada secara jelas:
1) Halusinasi yang menetap dan panca-indera
apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
2) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
3) Perilaku katatonik, seperti keadaan
gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan
stupor
4) Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;
5) Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas
telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk
setiap fase non psikotik (prodromal)
6) Harus ada suatu perubahan yang konsisten
dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed
attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Menurut Maramis, (2008)
membuat diagnosa skizoprenia dengan memperhatikan gejala-gejala pada tiga buah
koordinat. Koordinat pertama (organobiologik) yaitu, autisme, gangguan afek dan
emosi, gangguan asosiasi (proses berfikir), ambivalensi (gangguan kemauan)
serta gangguan aktifitas maupun gangguan konsentrasi. Koordinat kedua
(psikologik) yaitu, gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keperibadian, dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik
motivasi dan psikodinamika dalam interaksi dengan lingkungan. Koordinat ketiga
(sosial) yaitu, gangguan pada kehidupan sosial penderita yang diperhatikan
secara fenomenologik.
6.
Prognosis skizofrenia
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu
ada, kebanyakan orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi.
Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35%
mengalami perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi
siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset
akut, riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah,
riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini
akan memberikan prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor
pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak
menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk,
gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering
relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk, (Luana, 2007).
7.
Pengobatan skizofrenia
a.
Psikofarmaka
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek
primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek
sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis
anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis
tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah
jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat anti psikosis lain
(sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan dosis ekuivalennya. Apabila
dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif
dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya
adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih
menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek
samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal (Maramis, 2008).
Obat antipsikotik yang beredar
di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik generasi
pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja
dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan
tuberoin fundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi
pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal,
tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi
seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif.
Selain itu APG I menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti mulut kering
pandangan kabur gangguan miksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi
menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg
di antaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide.
Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan
apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila
dosisnya lebih dan 50 mg di antaranya adalah chlorpromazine dan thiondazine
digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan
sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA)
atau anti psikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin
pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping
extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia
untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon,
(Luana, 2007).
Dalam pengaturan dosis perlu
mempertimbangkan:
1) Onset efek primer (efek klinis): 2-4
minggu. Onset efek sekunder (efek samping): 2-6 jam.
2) Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2x per
hari)
3) Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi
kecil, malam besar) sehingga tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
4) Obat anti psikosis long acting:
fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk
2-4ininggu. Berguna untuk pasien yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi
pemeliharaan.
b. Psikososial
Ada beberapa macam metode yang
dapat dilakukan antara lain:
1)
Psikoterapi individual
a)
Terapi suportif
b)
Sosial skill training
c)
Terapi okupasi
d) Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
2)
Psikoterapi kelompok
3)
Psikoterapi keluarga
4)
Manajemen kasus : Assertive
Community Treatment (ACT)
8.
Prognosa.
a.
Kesembuhan total (total recovery), mungkin sembuh
seterusnya dan mungkin kambuh 1 – 2 kali.
b.
Kesembuhan sosial (sosial recovery).
c.
Keadaan kronis yang stabil.
d. Umur : makin muda umur permulaannya makin
jelek prognosanya.
e. Kepribadian prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia kurang memuaskan maka prognosa lebih jelek.
f. Bila skizoprenia timbul secara akut, maka
prognosa lebih baik daripada bila
penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
g. Prognosa pada jenis katatonik yang paling
baik.
h. Pengobatan : makin cepat pengobatan makin
baik prognosanya.
i.
Bila
terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologik maka prognosa lebih baik.
j.
Faktor keturunan : prognosa menjadi lebih berat bila di dalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang
juga menderita skizoprenia.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M., 2008, Skizofrenia
: Psikosa (Sakit Jiwa). Jakarta :
Balai Pustaka
Arikunto,S., 2008, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Aswin, 2010,
Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung : Refika
Aditama.
Andri, 2008, Kongres Nasional Skizofrenia V
Closing The Treathment Gap for Schizophrenia Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Bahar, 2010, Kesehatan
mental. Yogyakarta: Kanisius.
Dep.Dik.Bud, 2006, Kamus Besar Bahasa
Indonesia . Jakarta : Balai
Pustaka
Depkes, 2010, Gangguan Jiwa. [Accessed 20
Nopember 2012] Http://www Litbang Depkes. go.id.
Ghana Syakira, 2009. Psikologi
Klinis Fakultas Psikologi UMS. Jakarta Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Hastono,
S.P., 2007, Analisis data kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia (tidak dipublikasikan).
Hawari, D.,2009, Pendekatan Holistik Pada Gangguan
Jiwa : Skizofrenia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hidayat, 2010, Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data. Jakarta :
Penerbit Salemba Medika.
Isaacs, A.,
2004, Panduan Belajar : Keperawatan
Kesehatan Jiwa & Psikiatrik.
Edisi 3. Jakarta : EGC.
Iswanti I.D., 2010, Pengaruh Terapi Perilaku
Modeling Partisipan Terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Klien Penatalaksanaan
Regimen Terapeutik Tidak Efektif Di RSJD Dr. Amino Gondo Hutomo Semarang. Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan
Kaplan dan Sadock, 2003, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri. Alih Bahasa Dr Wijadja Kusuma. Jakarta :Bina Rupa
Aksara
Keliat, B.A., 2005, Peran
Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC
Keliat, BA., 2010, Model praktek keperawatan
professional jiwa. Jakarta:
EGC
Luana, 2007, Kekambuhan Skizofrenia.
[Diakses 20 Nopember 2012]. Dipublikasikan dalam http://www. Yayasan Harapan Permata
Hati Kita. htm.
Lilly, 2008, Dukungan
Keluarga, Menemukan dan Tetap Jalani Pengobatan yang Tepat Dapat membuat
Perbedaan. [Diakses 20 Nopember 2012]. http://www.antara.co.id/arc/2010/911/20/
Maramis, 2008, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press
Maslim R.,2007, Buku
Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian
ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Nursalam,
2008, Konsep
dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan,Pedoman Skripsi, Tesis,
dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Edisi 2, Jakarta : Salemba Medika
Nursalam, 2011, Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilm Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika
Niven, 2010,
Psikologi Kesehatan.
Jakarta : EGC
Prayitno, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan Pasien Skizofrenia di RSJ Prof
Dr. Soeroyo Magelang. Skripsi Tidak dipublikasikan.
Prayitno
D., 2009, SPSS Untuk Analisis Korelasi, Regresi dan Multivariate. Jogyakarta :
Gava Medika
Widodo, 2009, Hubungan
Antara Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dengan Kekambuhan Pada Pasien
Skizofrenia Di RSJD Surakarta.
Skripsi Tidak dipublikasikan.
Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, 2012, Laporan
Tahunan Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali. Bangli.
Samsara, 2010, Skizofrenia dan Diagnosis Banding.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Sirait, A., 2008, Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi
ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia yang mengalami relaps di Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Medan. online. Available: http://repository.usu.ac.id/20 Nopember 2012
Sudarwan, 2010, Metodelogi penelitian. Jakarta : CV Sagung Seto
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung :
CV Alfabeta
Sosrosumihardjo, 2010, Penanganan Penderita
Skizofrenia: Tinjauan Psikologis. Makalah. Simposium Skizofrenia.
Yogyakarta: RSK Puri Nirmala
Setiadi, 2007, Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Smet, 2008, Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools And Diagnosis . Philadelphia:W.B Saunders Co
Wardani, 2009, Pengalaman Keluarga Menghadapi Ketidakpatuhan
Anggota Keluarga Dengan
Skizofrenia Dalam Mengikuti Regimen Terapeutik: Pengobatan. Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan.
WHO, 2010,
Kesehatan Jiwa, online. Available:
http://www. mediaindonesia. com/20
Nopember 2012.
Yosep, I.,
2010, Keperawatan Jiwa. Edisi revisi. Jakarta : Refika Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar