Jumat, 21 Februari 2014

PENGARUH TERAPI OKUPASI AKTIVITAS WAKTU LUANG TERHADAP PERUBAHAN GEJALA HALUSINASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUANG KUNTI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang
Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan, krisis ekonomi, tekanan di pekerjaan dan deskriminasi meningkatkan resiko menderita gangguan jiwa (Suliswati, 2005). Jenis dan karakteristik gangguan jiwa sangat beragam, salah satunya gangguan jiwa yang sering kita temukan dan dirawat yaitu skizofrenia (Maramis, 2008). Sekitar 45% penderita yang masuk rumah sakit jiwa merupakan pasien skizofrenia dan sebagian besar pasien skizofrenia memerlukan perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang lama (Videbeck, 2008). Data American Psychiatric Association (APA) tahun 2010 menyebutkan, satu persen populasi penduduk dunia (rata-rata 0.85%) menderita skizofrenia (Joys, 2011), sedangkan Benhard (2010) menjelaskan angka prevalensi skizofrenia di dunia adalah 1 per 10.000 orang per tahun. Angka prevalensi skizofrenia di Indonesia adalah 0.3 sampai 1 persen, terjadi pada usia 18 sampai 45 tahun, tetapi ada juga berusia 11 sampai 12 tahun. Apabila penduduk Indonesia 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia (Prabowo, 2010). Berdasarkan laporan tahunan RSJ Propinsi Bali tahun 2012 dari tiga bulan terakhir (Agustus, September, Oktober 2012) diperoleh data bahwa dari 915 pasien yang masuk dan dirawat inap di RSJ terdapat 874 pasien (95,5 %) yang menderita skozofrenia diantaranya 620 laki-laki (70,9 %) dan 254 perempun (29,1 %) (Rekam Medik RSJ Provinsi Bali, 2012). Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan realitas (halusinasi dan waham), ketidakmampuan berkomunikasi, afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat, 2010). Pasien Skizoprenia mengalami halusinasi disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam mengadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol halusinasi. Tanda dan gejala halusinasi seperti bicara sendiri, senyum sendiri, ketawa sendiri, menarik diri dari orang lain, tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata (Maramis, 2008). Halusinasi yang tidak mendapatkan pengobatan maupun perawatan lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan perilaku seperti agresi, bunuh diri, menarik diri dari lingkungan, dan dapat membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 2007). Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali di Bangli pada bulan Nopember 2012, jumlah rata-rata pasien yang dirawat tiap bulan dalam tiga bulan terakhir yaitu bulan September sampai dengan Nopember tahun 2012 sebanyak 285 orang. Dari 285 pasien tersebut 62 orang (21,7%) adalah pasien dengan halusinasi, sedangkan jumlah pasien yang dirawat di Ruang Kunti dengan masalah keperawatan halusinasi rata-rata sebanyak 25 orang perbulan (Rekam medik, 2012). Pasien skizofrenia dengan halusinasi, memiliki tingkat frekuensi halusinasi yang berbeda-beda pada tiap individunya, semakin awal pasien ditangani dapat mencegah pasien mengalami fase yang lebih berat sehingga resiko kekerasan dengan sendirinya dapat dicegah (Megayanthi, 2009). Hasil wawancara peneliti terhadap 5 pasien yang mengalami halusinasi didapatkan data tiga orang mengalami halusinasi dengan frekuensi kurang dari lima kali dan dua orang mengalami halusinasi dengan frekuensi lebih dari lima kali. Penalaksanaan pasien skizofrenia dengan halusinasi yang dilakukan dengan kombinasi psikofarmakologi dan intervensi psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga, dan terapi okupasi menampakkan hasil yang lebih baik (Tirta & Putra, 2008). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Purwanto (2010) mengenai pengaruh terapi kerja terhadap frekuensi halusinasi pada pasien psikosis di RSJ Daerah Surakarta, penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi experiment dan ditemukan adanya pengaruh bermakna berupa penurunan frekuensi halusinasi dari pelaksanaan terapi kerja pada pasien psikosis dengan p = 0,001 (p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar